Istilah “konflik komunal” pada umumnya merangkap konflik antar agama dan antar etnis, tetapi juga kadang-kadang antara golongan dengan identitas lebih sempit. Beberapa contoh menonjol di jaman pasca Soeharto termasuk konflik di Poso, Sulawesi Tengah dari 1998 sampai 2001; Maluku dan Maluku Utara dari 1999 sampai 2002; dan konflik Dayak-Madura di Kalimantan Barat dan Tengah. Ketiga konflik ini berakhir sebagai konflik komunal sekalipun dimulai dari oplosan yang rumit antara berbagai faktor politik dan ekonomi. Angka korban jiwa di Poso berkisar antara 600-800, di Maluku mendekati angka 5.000 dan di Kalimantan Tengah antara 1.000 sampai 1.500 (baca Patrick Barron, Muhammad Najib Azca dan Tri Susdinarjanti, After the Communal War, CSPS Books, 2012). Puluhan ribu warga terpaksa mengungsi dan berbagai sengketa bermunculan akibat serangkaian pendudukan atas lahan yang mereka tinggalkan, juga duka nestapa yang tak terselesaikan, terus memicu berbagai pertikaian. Dampak tidak tuntasnya penyelesaian atas berbagai sengketa tersebut, hampir memicu kembali konflik komunal di kota Ambon pada September 2011.
Baik Poso maupun Maluku mengalami kekerasan ekstrimis sepihak setelah perjanjian damai yang diperantari oleh pemerintah (Malino I untuk Poso pada bulan Desember 2001, Malino II di Maluku pada bulan Februari 2002) untuk mengakhiri pertikaian komunal. Konflik di Kalimantan Tengah meledak pada bulan Februari 2001 dan mengakibatkan pengungsian hampir seluruh warga asal Madura.
Pertikaian komunal lainnya pecah di berbagai tempat, hampir selalu dimulai dari perselisihan kecil yang berkembang menjadi konflik berdarah, diperparah oleh pemolisian yang kurang efektif. Salah satu contoh adalah di kabupaten Kalianda, Lampung Selatan pada bulan Oktober 2012, dimana pertikaian yang mulai dengan dua perempuan muda asal Lampung dimaki-maki oleh dua anak muda asal Bali berkembang menjadi sengketa antara kelompok Lampung dan Bali yang mengakibatkan 12 orang meninggal dunia.
Penyelesaian masalah jangka panjang dari konflik komunal seperti ini perlu disesuaikan dengan setiap kasus, akan tetapi benang merah kebutuhan yang sama adalah perlunya perbaikan penegakan hukum dan upaya membangun rasa saling percaya melalui mekanisme penyelesaian sengketa, baik formal maupun informal.