Sengketa tanah dan sumber daya alam adalah salah satu sumber utama pemicu konflik berdarah. Sengketa-sengketa ini antara lain berakar pada pencaplokan lahan, sengketa perbatasan, pengungsian akibat bencana alam atau bencana bikinan manusia, kebijakan transmigrasi perubahan iklim atau faktor-faktor lain. Sengketa-sengketa ini terkadang menjadi sangat rumit karena adanya berbagai aktor dengan berbagai kepentingan ekonomi yang terlibat, dan baik faktor pemicu maupun aktor terus berubah seiring perjalanan waktu.
Di Indonesia, ada tiga jenis sengketa tanah yang menonjol. Pertama konflik melibatkan komunitas lokal yang tidak memiliki akses atau disingkirkan dari tanah mereka oleh agribisnis skala besar atau industri pertambangan yang mendapatkan konsesi dari negara. Kekerasan acapkali pecah ketika komunitas mengorganisir diri guna mempertahankan lahan atau melawan penggusuran. Namun demikian, sebagian besar dari kasus-kasus ini tak bisa dipotret hitam putih antara kelompok petani yang serba baik melawan perusahaan yang serba jahat.
Tipe kedua dari sengketa tanah mencakup pertikaian yang terkait dengan proses pemekaran ditingkat propinsi, kabupaten atau kecamatan. Kriteria yang tercantum dalam undang-undang dan regulasi otonomi daerah seringkali diabaikan. Di banyak daerah di Indonesia, unit-unit pemerintahan baru diciptakan bukan untuk membawa pemerintah lebih dekat dengan masyarakat – yang merupakan dasar otonomi daerah – tetapi justru demi memberikan kesempatan pada kelompok yang sebelumnya tak terwakili dalam pemerintah daerah agar berkesempatan punya akses politik. Di Indonesia bagian timur, banyak unit pemerintahan baru muncul berdasarkan pada pertimbangan etnis. Pertikaian pun pecah manakala garis perbatasan tidak ditentukan dengan jelas, kekayaan sumber daya alam harus dibagi, atau ketika terjadi kompetisi dalam menentukan kota mana yang menjadi ibukota, karena harga tanah seringkali ikut terdongkrak.
Konflik jenis ketiga mencakup sengketa antara penduduk asli dan kelompok pendatang dari wilayah lain. Banyak kasus berakar pada program transmigrasi pada jaman Soeharto atau kadang-kadang sebelumnya. Akan tetapi kini banyak kasus melibatkan kelompok pendatang yang baru datang belakangan atas usaha sendiri demi mencari peluang ekonomi.
Semua konflik di atas seringkali diperparah oleh garis kewenangan yang serba tidak jelas atau saling tumpang tindih antar kementerian dan antar tingkat pemerintah yang berbeda; sejarah perlakuan tidak adil yang pelik untuk diurai, apalagi diselesaikan; keterlibatan pasukan keamanan swasta; mekanisme penyelesaian sengketa yang lemah; dan korupsi. Tugas utama analisis konflik ini adalah untuk memulai memetakan aktor secara jelas serta evolusi sengketa dari awal sampai sekarang, baru kemudian berupaya menguraikan isu-isu tersebut ke dalam komponen-komponen yang lebih mudah diselesaikan pada jangka pendek.