Di Indonesia, sejak transisi demokrasi dimulai pada 1998, kekerasan pemilu terbilang sangat rendah, akan tetapi di beberapa tempat di Indonesia terutama setelah pilkada langsung diperkenalkan pada 2005, ada kasus-kasu dimana mereka yang kalah melakukan aksi kekerasan. Sengketa ini terkadang berkepanjangan, seperti di Maluku Utara dimana sengketa pilgub tak juga selesai selama hampir dua tahun (2007-2009). Kinerja yang buruk atau keberpihakan KPU setempat juga berkontribusi pada ketegangan ini. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah menjadi lembaga arbitrase formal untuk sengketa pemilu sejak 2008 dan telah memainkan peran konstruktif, akan tetapi kekerasan yang terjadi malah semakin meningkat.
Dua konflik pilkada yang paling berdarah dalam beberapa tahun terakhir ini adalah pilgub 2012 di Aceh serta pilkada di Puncak, Papua, pada 2011. Pada konflik pertama, sekelompok preman yang terkait dengan partai politik local mencoba mendongkel gubernur petahana dengan membunuh sejumlah pekerja asal Jawa dalam upaya menunda pemilihan atas alasan keamanan sampai masa jabatan gubernur tersebut habis sehingga ia tak bisa lagi memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pencalonan dirinya.
Pada konfik kedua, dua kandidat dari suku yang berbeda, meyakini bahwa mereka sama-sama kandidat yang didukung oleh Partai Gerindra, memobilisasi anggota keluarga besar mereka untuk saling bertikai pada bulan Juli 2011. Awalnya konflik ini menewaskan 18 orang, namun korban jiwa terus bertambah seiring berlanjutnya sengketa hingga akhirnya memakan korban jiwa hampir 30 orang.
Masalah memang lebih banyak ditemui pada pilkada ketimbang pemilu di tingkat nasional, akan tetapi hal ini boleh jadi karena dua pilpres, pada tahun 2004 dan 2009, menghasilkan pemenang yang jelas. Hasil pemilu yang tipis antar kandidat di tingkat nasional akan dapat memicu pecahnya kekerasan di tingkat nasional apabila pihak yang kalah yakin bahwa kekalahannya diakibatkan oleh kecurangan.