Penyelesaian konflik di tiap negara melibatkan berbagai jenis hukum dan institusi, terutama lembaga keamanan dan peradilan, serta masyarakat sipil. Berkembangnya institusi-institusi tersebut dan perubahan konteks politik bisa berdampak terhadap kapasitas untuk menangani atau menyelesaikan sengketa, atau paling tidak pencegahan konflik menjadi lebih buruk. Di Indonesia dan Timor-Leste, misalnya, sangatlah penting untuk memahami peran, kepentingan institusi, dan posisi kekuasaan relatif dari polisi dan militer, baik di tingkat nasional dan lokal. Instansi ini dan terkadang, pamswakarsa (organ sipil mereka), dapat mempertajam atau menurunkan ketegangan. Akses menuju keadilan juga dimensi yang sangat penting bagi penyelesaian konflik. Jika lembaga peradilan terlalu mengintimidasi, terlalu korup atau terlalu susah untuk dijangkau, maka pihak yang berkonflik akan menggunakan mekanisme tidak resmi, yaitu main hakim sendiri atau berbagai tindak kekerasan untuk menyelesaikan pertikaian mereka.
Peraturan-peraturan baru atau keputusan peradilan dapat membantu atau malah mencederai kemungkinan penyelesaian konflik, dan karenanya sangat penting untuk memahami kapan dan bagaimana regulasi itu diterapkan oleh pihak yang bertikai. Contohnya di Indonesia, Undang-Undang Penanggulanan Konflik Sosial tahun 2012 dan peraturan-peraturan turunannya memberikan kekuasaan baru bagi pemerintah daerah untuk menetapkan status "Keadaan Konflik" di suatu wilayah dan membatasi aktivitas masyarakat di area tersebut. Keputusan tahun 2013 dari Mahkamah Konstitusi yang mengakui konsep hutan adat, telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi komunitas adat untuk mengklaim kembali kepemilikan hutan negara. Dengan demikian, keputusan tersebut telah membuka kesempatan untuk penyelesaian konflik lama dan bahkan membuka kemungkinan munculnya konflik baru.
Dalam perjalanannya, IPAC akan terus mencermati perkembangan hukum dan institusi-institusi tersebut yang berhubungan dengan konflik.