Aksi vigilantisme, atau main hakim sendiri, adalah masalah yang khusus terjadi di negara-negara dengan kepercayaan rendah terhadap penegakan hukum dan pengadilan. Di Indonesia, serangan terhadap kelompok minoritas dan tempat “maksiat”, atas nama agama, paling sering mendapatkan perhatian media. Akan tetapi angka korban jiwa justru jauh lebih tinggi dalam peristiwa dimana orang biasa memutuskan secara spontan untuk main hakim sendiri terhadap pencuri, perampok, pelaku kriminal kelas teri dan mereka- yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Satu studi yang mumpuni tentang hal ini ditulis oleh Dr. Bridget Welsh, berjudul “Local and Ordinary: Keroyokan Mobbing in Indonesia, 1995-2004,” dapat diakses online. Rekam jejak basis data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan mencatat terdapat 53 pembunuhan jenis ini di Jakarta saja pada tahun 2012.
Penyerangan oleh warga terhadap kantor pemerintah atau perusahaan, apalagipos polisi, juga sering terjadi. Serangan sering dipicu oleh kemarahan atau frustrasi akibat tidak terpenuhinya rasa keadilan Ada semacam keyakinan bahwa apabila ada banyak orang terlibat dalam serangan perusakan atau pembakaran, maka makin tipis kemungkinan pelaku akan dituntut. Akan tetapi aksi premanisme dapat berkembang menjadi kekerasan yang lebih serius, sebagaimana terjadi di provinsi Lampung pada bulan Oktober 2012. Dalam peristiwa tersebut,setelah beredar bahwa dua siswi menjadi korban pelecehan seksual, warga desa asal Lampung menyerbu ke desa etnis Bali di mana yang diduga pelaku tinggal. Penyerangan ini kemudian melebar menjadi konflik antar etnis.
Salah satu contoh aksi main hakim sendiri dengan korban jiwa yang besar pernah terjadi dalam konteks krisis politik dan ekonomitahun 1998, dimana banyak orang yg diduga dukun santet dibunuh oleh masyarakat.